Cita Fusi PUI, Islam Raya

Oleh Ahmadie Thaha
Pesantren Tadabbur al-Qur'an

Hari ini, 71 tahun silam, di tengah pertikaian dan perbedaan politik dan keagamaan yang begitu tajam di tengah masyarakat, ormas Islam besar justeru mewujudkan persatuan. Para tokoh dua ormas besar Perikatan Oemmat Islam (POI) yang berbasis di Majalengka dan ormas Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) yang berbasis di Sukabumi, melakukan peleburan alias fusi kedua organisasi pada 5 April 1952 di Bogor, Jawa Barat. Mereka pun menyepakati nama baru ormas mereka menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI). Perikatan Oemmat Islam sendiri memperoleh status hukumnya dari Pemerintah Hindia Belanda pada 21 Desember 1917.

Peleburan kedua organisasi, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia, sungguh penting. Peristiwa ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan di antara gerakan Islam yang ada pada masa itu, tetapi para tokohnya masih memiliki kemampuan untuk bekerjasama dan mencapai kesepakatan. Fusi ini juga menjadi tonggak penting dalam pergerakan Islam di Indonesia, karena membuka jalan bagi gerakan Islam yang lebih inklusif dan lebih komprehensif dalam memperjuangkan hak-hak kaum muslimin.

Melalui fusi tersebut, para pendiri PUI -- K.H. Abdul Halim, K.H. Ahmad Sanusi, dan Mr. R. Syamsuddin --  hendak mewujudkan cita-cita apa yang mereka sebut "Islam Raya." Istilah ini tercantum dalam empat bait terakhir Mars PUI, yang berbunyi: "... Kerahkan wahai ummat Muhammad /tenaga sebulatnya/ di dalam lapangan PUI kita/ 'tuk mencapai Islam Raya." Boleh jadi mereka terinspirasi oleh lagu kebangsaan "Indonesia Raya" karya WR Supratman. Bagi mereka, jika ada Indonesia Raya yang membentang dari Sabang sampai Merauke, mestinya juga ada Islam Raya.

Namun, apa sebetulnya yang dimaksud dengan Islam Raya yang dicita-citakan itu? Jika Indonesia Raya memiliki batasan teritorial luas dari Sabang di Aceh sampai Merauke di ujung Papua yang kaya raya, bagaimana dengan Islam Raya? Islam memang memiliki konsep "Islam sebagai rahmat bagi alam semesta," yang menunjukkan kerayaan anugerah Islam bagi seluruh makhluk di dunia. Hanya saja, jika dilihat dari konteks fusi PUI dengan jargon persatuan Islamnya, bukan Islam Rahmatan Lil 'Alamin demikian yang dimaksud dengan Islam Raya yang menjadi cita-cita PUI.

Ide awal peleburan kedua ormas menjadi PUI sudah muncul tahun 1930-an. Kita tahu, dunia Islam semakin terpuruk akibat runtuhnya Khilafah Ustmani pada 3 Maret 1924. Indonesia sendiri belum merdeka. Seperti Indonesia, banyak negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah masih dijajah oleh bangsa Eropa. Sementara para tokoh ormas Islam tua yang berdiri sebelum kemerdekaan, seperti Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama (NU), tak jarang bertengkar hingga gontok-gontokan dalam masalah-masalah fiqih furu'iyah. Ini diperburuk oleh situasi dan kondisi politik pecah-belah yang berlanjut setelah kemerdekaan.

Kondisi tersebut menjadi bahan dan topik pembahasan sekaligus keprihatinan di kalangan tokoh PUI. Mereka melihat perpecahan dan pertikaian tadi justru akan membuat wajah Islam begitu bopeng. Di satu sisi Islam disebut sebagai rahmat, tapi di sisi lain para ulamanya terpecah-belah begitu kerasnya. Hanya karena masalah hukum boleh-tidaknya penerjemahan al-Qur'an, misalnya, KH. Ahmad Sanusi yang membuat tafsir terkenal Raudhatul Irfan dan Tamsyiyatul Muslimin sampai "diadili" oleh para penentangnya di tengah alun-alun Kota Sukabumi dengan dihadiri 20-an ribu massa.  

Mereka menghendaki terwujudnya persatuan Islam (wahdah Islamiyyah, ittihad al-Islam). Inilah istilah yang juga dipilih oleh kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Sementara kaum orientalis dan kalangan Eropa lebih menggunakan istilah pan-Islamisme, sebagai ganti dari persatuan Islam. Gagasan bahwa semua muslim terikat untuk bersatu dan bertindak bersama memang disebut dalam fraseologi orientalis "pan-Islam" atau "pan-Islamisme". Kaum orientalis akademik dan kolonial mengembangkan teori konspirasi, di mana semua muslim berperilaku dan berpikir dengan cara yang sama karena komitmen mereka yang kuat terhadap Islam.

Ajaran Islam menegaskan, semua muslimin harus merupakan satu komunitas yang bersatu, yaitu ummat, yang melintasi perbedaan status, suku, dan keturunan. Namun, gagasan modern tentang dunia muslim merupakan konstruksi sosial yang muncul dalam berbagai proses penaklukan kolonial dan budaya muslim yang saling terkait oleh kekuatan Eropa dan perlawanan terhadapnya. Meskipun dianggap secara rasial lebih rendah dari orang Eropa, setelah bersatu secara geopolitik di seluruh dunia, kaum muslim dianggap dapat menjadi ancaman serius terhadap peradaban Barat.

Di zaman mesin uap, media cetak, dan telegrafi, pertemuan kolonial dan militer dengan Barat menciptakan solidaritas muslim transnasional dan mobilitas lintas batas di antara para pemikir dan aktivis pan-Islamis. Di bawah pemerintahan Abdülhamid II, Sultan Turki (1842-1918), yang berlangsung dari tahun 1876 hingga 1909, persatuan Islam atau pan-Islam menjadi ideologi kesultanan untuk melegitimasi Kesultanan Utsmaniyah sebagai kesultanan di antara kesultanan dan Sultan-Khalifah sebagai kedaulatan spiritual dari seluruh umat Islam di dunia.

Sebagai reaksi terhadap hegemoni Eropa, gerakan kebangkitan dan reformasi Muslim abad ke-19 juga mengkampanyekan gagasan identitas muslim supranasional. Sebagian besar elit muslim pun menolak atau menghindari istilah pan-Islamisme karena asalnya dari kaum orientalis dan Eropa tadi. Mereka lebih memilih istilah "persatuan Islam", yang dalam bahasa Arab disebut ittiḥād al-Islām, bahasa Turki Utsmani ittihâd-ı İslâm, dan bahasa Persia ettehād-e Eslām. Begitu pula para tokoh PUI, lebih memilih istilah persatuan Islam, bahkan itu dijadikan sebagai nama ormas mereka.

Istilah "Islam Raya", saya kira, merupakan pilihan istilah lain dari gagasan pan-Islam. Meskipun PUI sudah memiliki istilah baku "persatuan Islam," namun untuk menegaskan perlawanannya terhadap istilah pan-Islamisme dari kaum orientalis dan Eropa, PUI memilih istilah yang baru sama sekali, "Islam Raya." Inspirasinya berasal dari sejumlah negara besar di dunia yang telah menggunakan istilah "raya" sebagai tambahan di belakang nama negaranya dengan tujuan kampanye dan peneguhan sikap nasionalisme, seperti Inggris Raya, Jerman Raya, dan Indonesia Raya.

Perang Dunia Pertama menjadi latar sebenarnya dari momen pan-Islam global. Organisasi dan kongres Pan-Islamis menjamur baik di dunia Muslim maupun di pengasingan Eropa menyerukan front muslim bersatu melawan kolonialisme Barat. Ideologi utama mobilisasi dan legitimasi Perang Kemerdekaan di Anatolia — dan perjuangan pasca-Utsmaniyah lainnya — adalah nasionalisme muslim dan menghasilkan banyak solidaritas pan-Islam di seluruh dunia Muslim. Gelombang pemberontakan dan revolusi melawan pemukiman kolonial di Timur Tengah Arab dalam banyak hal disertai dengan seruan jihad, nasionalisme muslim, dan solidaritas pan-Islam.

Pemimpin utama gerakan Pan-Islam adalah tiga serangkai Jamaluddin al-Afghani (1839–1897), Muhammad 'Abduh (1849–1905) dan Sayyid Rasyid Ridha (1865–1935); yang aktif dalam upaya anti-kolonial menghadapi penjajahan Eropa atas tanah muslim. Mereka juga berusaha memperkuat persatuan Islam, yang mereka yakini sebagai kekuatan kokoh untuk memobilisasi umat Islam melawan dominasi Barat. Menyusul penaklukan Semenanjung Arab oleh Ibnu Saud, pan-Islamisme semakin menggema di dunia Islam. Pada puncak Perang Dingin tahun 1960-an dan 1970-an, Arab Saudi dan negara-negara sekutu di dunia muslim memimpin perjuangan Pan-Islamis untuk melawan penyebaran ideologi komunis dan membatasi meningkatnya pengaruh Soviet di dunia.

Akhirnya, Soviet Rusia menghadapi pan-Islamisme dengan menandatangani perjanjian dengan negara-negara Turki, Iran, dan Afghanistan yang baru didirikan. Sementara, Inggris dan Prancis membungkam pan-Islamisme dengan secara brutal menindas pemberontakan di Afrika Utara dan Timur Tengah serta memberikan kemerdekaan yang terkendali — jika bukan pemerintahan kolonial langsung — yang mengkooptasi elit dan penguasa lokal di dalam negara-bangsa yang baru dibentuk. Setelah Republik Turki menghapus Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 1924, pan-Islamisme perlahan memudar dari imajinasi politik sebagai peninggalan masa lalu yang menghilang bersama Perang Dunia Pertama.

Lantas, bagaimana kelanjutan dari ide besar "Islam Raya"? Saya kira, PUI mesti merumuskan kembali gagasan tersebut untuk dapat diterapkan dalam konteks baru Indonesia dan dunia. Sebagai contoh, Necmettin Erbakan, mendiang perdana menteri Turki dan pendiri gerakan Millî Görüş, pernah membangkitkan kembali ide pan-Islam (İslam Birliği) dengan visi persatuan bertahap negara-negara muslim melalui kolaborasi ekonomi dan teknologi yang mirip dengan Uni Eropa dengan satu unit moneter (İslam Dinarı), proyek kedirgantaraan dan pertahanan bersama, pengembangan teknologi petrokimia, jaringan penerbangan sipil regional dan kesepakatan bertahap menuju nilai-nilai demokrasi.

Wallahu a'lam bis-shawab

Share:

Tidak ada komentar: